Inikah “Luar Negeri”?

Orang bijak mengatakan, “Pengalaman adalah guru terbaik.” Bagi yang belum berpengalaman akan suatu hal, biasanya ia akan jadikan pengalaman orang lain sebagai pegangan. Celakanya, banyak orang gagal memahami bahwa pengalaman itu bersifat personal, ia hanya berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu. Bahkan dua orang yang berada di tempat dan waktu yang bersamaan pun dapat mengalami / merasakan pengalaman yang berbeda, tak jarang kontradiktif. Oleh karena itulah Michael Palin mengatakan “The trouble with traveling back later on is you can never repeat the same experience.” Namun demikian, bukan berarti menjadikan pengalaman orang lain sebagai pegangan itu salah.

Crossing the border

Sebagai orang yang belum pernah ke luar negeri, aku menjadikan pengalaman orang lain sebagai pegangan, baik untuk hal yang teknis maupun yang tidak. Aku sempat membaca di beberapa artikel bahwa bagi orang yang baru pertama kali ke luar negeri, proses imigrasi bisa jadi sebuah momok yang sangat menakutkan dan kadang “dipersulit”, bahkan seorang temanku pernah tertahan di imigrasi Malaysia dan diduga sebagai “pelaku keganasan” (terorisme). Lalu bagaimana pengalamanku dengan proses lintas batas negara? Tak semengerikan yang aku baca, pun yang dialami oleh temanku.

Proses imigrasi di bandara Changi, Singapura, tidaklah semenakutkan yang aku bayangkan atau yang ditulis oleh beberapa orang. Prosesnya berlangsung dengan sangat cepat dan lancar, meski jelas tertera bahwa pasporku masih baru dan kosong. Proses lintas batas negara Singapura dan Malaysia (Woodlands – Johor Bahru) pun tidaklah sulit, tidak ada kendala yang aku alami. Saat ingin memasuki Singapura, aku hanya perlu mengisi kartu kedatangan yang harus diisi oleh beberapa data pribadi. Sementara untuk memasuki Malaysia, aku hanya perlu scan dua jari telunjukku. Paspor diperiksa dan di verifikasi datanya, kurang dari 5 menit kemudian, aku sudah mendapatkan stempel izin untuk berkunjung selama 30 hari.

Plan can changed.....in a second

Saat melakukan perjalanan, aku jarang sekali membuat itinerary secara detail. Biasanya aku hanya merinci tentang kebutuhan biaya di suatu tempat, mulai dari biaya transportasi lokal, akomodasi hingga daily needs. Namun demikian, kadang aku juga membuat itinerary lengkap, meski tak pernah aku jadikan dasar mutlak akan kegiatanku di suatu tempat. Praktisnya begini, aku menentukan cara berdasarkan tujuan dan tujuanku tak pernah tentang tempat, tapi “people” dan “culture”. Bagiku, mengamati perilaku / kehidupan penduduk lokal itu penting, karena aku meyakini banyak hal yang nantinya akan sangat berguna di perjalanan lainnya, terutama perjalanan hidupku. Toh aku merasa bahwa aku yang kalian temui di perjalanan liburan tak akan jauh berbeda dengan aku yang kalian temui di perjalanan hidup (kehidupan sehari-hari).

Setibanya di Terminal Bis Larkin, Johor Bahru, Malaysia, aku berencana akan jalan-jalan melihat sekeliling, mencoba transportasi umumnya, mengamati kehidupan penduduk lokal sekaligus menunggu bis ke Kuala Lumpur tengah malam nanti. Namun rencana tinggallah rencana. Baru saja aku menaiki bis SBSTransit nomor 170 dari JB CIQ menuju JB Larkin, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Haruskah aku murung karena rencanaku berantakan? Tidak. Seperti di awal tadi, aku menentukan cara berdasarkan tujuan. Karena tujuanku adalah mengamati perilaku / kehidupan penduduk lokal, maka aku putuskan untuk melakukannya di sini, di Terminal Bis Larkin. Toh waktu yang aku miliki lumayan lama karena aku akan “terjebak” di terminal ini selama kurang lebih 9 jam.

We’re not really different

Mana yang akan kamu percayai, orang baru yang mengatakan sesuatu tentang temanmu atau temanmu yang mengatakan sesuatu tentang orang baru itu? Kebanyakan orang akan menjawab “Temanku”, namun tidak denganku. Bukan karena aku lebih percaya orang baru atau karena aku tidak percaya temanku, tapi karena aku lebih percaya pada kebenaran. Kebenaran tentu tidak bisa didasarkan pada “Kata teman baikku”, tapi harus berdasarkan data dan fakta. Pencarian data dan fakta inilah yang seringkali diabaikan oleh sebagian orang.

Aku memang baru saja menginjakkan kaki di Singapore dan Malaysia (Johor Bahru), namun sedikit banyak, aku sempat memperhatikan kehidupan sosial di sini. Selama ini, yang aku tahu tentang Singapore dan Malaysia adalah: Negara maju dengan lingkungan yang bersih, tidak macet, tertib dan  teratur, tepat waktu, bersih, fasilitas umum yang sangat memadai dan memudahkan, serta penduduknya memiliki etos kerja yang tinggi. Benarkah itu semua? Sebagian ya dan sebagian tidak.

Soal fasilitas umum yang memadai dan memudahkan, aku akui bahwa Singapore dan Malaysia (sejauh ini) memiliki itu. Terminal Larkin memiliki konetifitas yang luar biasa. Seluruh bis tujuan dalam kota, daerah lain di Malaysia, Singapore bahkan Thailand tersedia di sini. Saat turun dari bis SBSTransit pun aku tidak dihampiri ataupun dipaksa oleh calo, sebagaimana yang diceritakan oleh banyak orang. Namun sayangnya, kondisi terminal ini mengingatkanku pada sebagian besar terminal di Indonesia: berantakan. Kebijakan untuk tidak merokok di tempat umum pun sepertinya hanya kebijakan saja. Di area “coach” bandara Changi, di pinggir jalan Changi Business Park dan di seluruh area Terminal Larkin, tak sulit aku menemukan orang merokok dengan santainya, meski jelas terpampang tanda “Dilarang Merokok” di dekatnya. Namun tak aku pungkiri bahwa aku bersyukur dengan “keadaan” ini. Karenanya aku jadi bisa menulis artikel ini sambil menghisap rokok kretek yang aku bawa dari Indonesia dengan tenang, meski itu salah.

Mengenai ketepatan waktu, di Singapore dan Johor Bahru cukup lumayan, meski bis Transtar yang semestinya berangkat pada pukul 14.25 dari Terminal 1 Bandara Changi baru tiba pada pukul 14.35 dan berangkat pada pukul 14.40. namun untuk waktu kedatangan, yang aku alami di 2 negara ini justru lebih cepat dari yang dijadwalkan.

Sejak menginjakkan kaki di Singapore hingga di Johor Bahru saat ini, aku belum merasa sedang di luar negeri. Selain soal mahal (karena kurs rupiah yang lemah), fasilitas umum yang memadai, akses transportasi yang mudah, jalan yang tidak macet dan tingkat kebersihannya, tak ada yang membedakan. Bahkan sejak dari bandara Changi, hanya 4 orang yang mengajakku berbicara dengan Bahasa Inggris: 1 orang petugas mesin reload EZ-link, 2 orang turis Amerika (tampaknya) yang meminta bantuanku untuk membeli tiket MRT dan 1 orang petugas counter yang menjelaskan padaku tentang harga EZ-link “This card price is S$ 12 with S$ 7 nominal and S$ 5 is card price (non-refundable).” Selebihnya, seluruh orang yang aku temui malah mengajakku berbicara dengan Bahasa Melayu, mulai dari petugas imigrasi di bandara Changi, hingga petugas loket bus di Terminal Larkin.

Akankah persepsiku ini menjadi berbeda di Kuala Lumpur nanti? We'll see...

Singapura – Johor Bahru, 9 Juni 2014.

Salam.

Share

Leave a Comment


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.


@TravellersID you can buy royalty-free license of stock photo and stock video; search, compare, and book cheap flight ticket, hotels, and car rental around the world; or hire us for social media management, content writing, or video production services.