Doyan Traveling dan #AddictedToTravel? Surely Not Me!

Kalian merasa aneh dengan judul tulisannya? Kalau kalian sudah lama kenal denganku sih pasti akan merasa biasa saja. Tapi buat yang belum kenal atau baru saja kenal mungkin akan berpikir, "Lho, akun / web traveling kok nulis begitu" atau " Ah ini mah cari sensasi aja biar banyak yang baca, biar heboh gitu lah". Jika ada yang berpikir demikian, dengan senang hati aku akan bilang kalian salah. Serius.

Aku tak tahu siapa yang memulai, tapi aku pertama kali melihatnya melalui akun Twitter @BackpackerInfo tadi malam (21/6) pukul 22.08 WIB. Tampaknya beliau sedang share 20 kriteria orang yang #AddictedToTravel -meski akhirnya hanya 15 yang beliau tweet.

Awalnya aku biasa saja, hingga muncul beberapa tweet di bawah ini. OK, hold on. Jadi untuk bisa dibilang "ketagihan traveling" aku mesti lebih banyak teman di luar daripada di sekitar dan satu-satunya alasan aku kerja adalah biar bisa menabung buat traveling? Aku mesti mikirin rencana traveling lain, sementara yang sekarang saja sedang aku jalankan?

Disinilah muncul kegelisahanku. Apa yang aku khawatirkan selama ini boleh jadi memang benar. Perjalanan yang sebenarnya punya makna filosofis, telah bergeser menjadi sekedar "been there, picture that", telah menjadi sebuah gaya hidup baru, bahkan mungkin telah menjadi kebutuhan primer menggantikan "papan". Makna rumah dan keluarga, baik secara fisik maupun filosofis, telah tergerus hanya karena #AddictedToTravel.

Aku tahu dan sadar sepenuhnya bahwa latar belakang dan prioritas bagi masing-masing orang itu berbeda-beda. Ada orang yang merasa memiliki kebebasan penuh dalam menentukan jalan hidupnya tanpa perlu memikirkan soal keluarga, ada yang menyadari bahwa kebebasan jalan hidup yang ia miliki dibatasi oleh kebebasan orang lain, ada pula yang menentukan jalan hidupnya tergantung "kemana angin berhembus". Everyone has their own choices and problems.

Aku tak yakin semua orang ingin jadi seperti @DuaRansel yang memutuskan untuk tidak memiliki rumah secara fisik dan mengembara menjelajahi dunia. Namun aku yakin sepenuhnya bahwa meski Dina dan Ryan tidak memiliki rumah secara fisik, tapi mereka memiliki rumah secara filosofis. Karena yang aku tahu, kadang mereka masih "pulang", meski ke rumah orang tuanya.

Ada yang sudah baca artikel wawancaranya @efenerr dengan @arman_dhani? Coba perhatikan perkataan Dani ketika menanggapi @avgustin88 yang bertahun-tahun malang melintang melakukan perjalanan ke berbagai negara namun ternyata tidak kenal banyak orang di kampung halamannya, Agus merasa asing. "Kalau nanti sudah selesai jalan dan gak kenal siapapun di rumah terus mati, njuk sopo sing arep yasinan karo ngubur?", kata Dani.

Namun demikian, persepsi ini akan tergantung pada seberapa jauh kamu mengenal Agus. Meski sedikit, aku yakin Agus merasa bersalah akan hal ini, karena itulah saat ini ia sudah kembali ke Indonesia. "Aku ingin mengenal kembali Indonesia", ujarnya kepadaku waktu itu.

Masih ada yang ingat dengan perkataan John Ruskin? Ia pernah berkata bahwa, “Modern traveling is not traveling at all; it is merely being sent to a place, and very little different from becoming a parcel.”

Aku meyakini sepenuhnya bahwa dalam melakukan perjalanan, destinasi bukanlah tujuan utama. Tidak perlu ada patokan khusus kemana kita harus pergi, bukan soal ke tempat eksotis atau ke suku-suku pedalaman. Bukan pula tentang bagaimana cara kita melakukan perjalanan, entah ala backpacker, flashpacker, bahkan luxurious traveler sekalipun. Yang terpenting adalah pelajaran apa yang kita serap selama dalam perjalanan.

Lalu apa hubungan semua ini dengan judul tulisan di atas? Kalau kalian tidak menangkap maksud tersirat yang coba aku sampaikan, begini singkatnya:

  1. Jika untuk disebut sebagai seseorang yang #AddictedToTravel adalah sebagaimana yang di tweet oleh @BackpackerInfo dan yang mengamininya, maka berarti aku tidak termasuk dalam kategori itu; dan
  2. Jika untuk disebut sebagai traveler prioritasnya adalah "been there, picture that", maka dengan senang hati aku akan bilang bahwa aku bukanlah traveler.

Ada sanggahan? Silahkan. 🙂

Share

Leave a Comment


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.


Ossa Ardofanny Gita (@ossardofanny)

11 years ago

Dunia Travelling, khususnya Indonesia seakan tertampar oleh beberapa artikel yang mengkritisi pola-pola yang dilakukan oleh para traveller. Saya termasuk orang yang sepakat terhadap beberapa tulisan itu termasuk tulisan dari @efenerr yang dikutp dari wawancara bersama @arman_dhani , juga tulisan ini. Namun sayangnya tidak semua lini dunia travelling bisa menerima hal ini.

Menurut pengalaman pribadi saya, dari sekian kali travelling ke beberapa lokasi, yang saya temukan adalah traveller yang hanya berfoya-foya dan berpesta. Namun setelah dipikir, itu hal yang wajar ketika traveller itu adalah pekerja yang sedang berlibur namun yang disesali adalah mereka menggunakan istilah "Backpacker" atau "Traveller" yang dalam tulisan ini disebut sebagai sebuah perjalanan/pejalan yang memiliki/mencari makna tertentu.

Jika para penikmat liburan itu berfoya-foya, memang tidak bisa disalahkan. Karena para pendaki gunung yang notabene merupakan sebuah komunitas atau lingkup traveller yang seharusnya memiliki tingkatan filosofis tinggi-pun saat ini mulai terkontaminasi oleh oknum yang sekedar menjadi korban mode, terutama dari gambar-gambar di internet dan juga film yang mengesampingkan makna dan pesan filosofis dari sebuah pendakian.

Sekedar catataan, wacana-wacana seperti ini sampai saat ini belum masuk ke komunitas pendaki di Indonesia. Para pendaki masih berkutat dengan isu-isu kebersihan gunung yang nyatanya hanya bullshit belaka.

Semoga kritikan-kritikan semacam ini lebih banyak lagi dan menyentuh semua lapisan dan jenis pejalan yang ada !!

@TravellersID you can buy royalty-free license of stock photo and stock video; search, compare, and book cheap flight ticket, hotels, and car rental around the world; or hire us for social media management, content writing, or video production services.