Apa langkah besar yang pertama kali kamu lakukan? Hidup jauh dari orangtua? Meninggalkan kuliah atau pekerjaan demi keyakinan akan masa depan yang lebih baik di tempat lain? Quit your job and travel the world? Memutuskan pacar demi mendapatkan pacar lain yang jauh lebih baik? Bebas. Setiap orang berhak mempunyai persepsi masing-masing atas “langkah besar” yang pertama kali atau pernah ia lakukan, meski langkah tersebut tampak kecil di mata orang lain. But hey! Bukankah setiap orang punya jalan hidup masing-masing yang tak akan persis sama hingga besar-kecil akan selalu kontekstual?
Beberapa kali keluargaku bertanya “Kamu kerja kok ga ada hasilnya sih?” Yang mereka maksud adalah hasil berupa kendaraan pribadi, minimal motor. Seingatku, aku memang tidak pernah tertarik untuk memiliki kendaraan pribadi, hingga sering aku jawab dengan “Aku kan pecinta transportasi umum” atau “Nanti aja aku beli kereta sekaligus sama relnya biar semua orang bisa punya akses transportasi murah, jadi duit untuk mereka beli motor bisa dipakai untuk keperluan rumah tangga mereka.” Mendengar jawabanku, biasanya mereka hanya tertawa atau berkata, “Aamiin!”
Sebagian orang mungkin agak sulit untuk menampik godaan kepemilikan materi berupa barang mewah seperti kendaraan pribadi atau gadget keren. Atau sulit juga rasanya untuk tidak menilai seseorang atau sesuatu dari penampilan fisiknya. “Don’t judge a book from it’s cover”, seringkali hanyalah sebuah slogan. Hingga di-suatu-sore-yang-sendu, saat @aliciakeys menyanyikan lagu “If I Ain’t Got You” untukku, aku pun semakin yakin dengan pendirianku ini.
Perjalanan Itu Membeli Pengalaman
Beberapa orang bilang hal ini naif, tapi bagiku itulah makna sebuah perjalanan. Saat banyak orang menabung untuk membeli gadget canggih dan /atau kendaraan pribadi, aku menabung untuk melakukan perjalanan. Apa tujuan perjalananku? Membeli pengalaman. Apakah harus melakukan perjalanan untuk bisa membeli pengalaman? Tergantung bagaimana kita mengartikan perjalanan, apakah perjalanan itu sebatas perjalanan liburan atau lebih dari itu.
Perjalanan, yang aku pahami, adalah sebuah proses perpindahan. Bukan sekedar dari satu tempat ke tempat lain, tapi juga perpindahan kondisi. Dari baru menjadi usang, kuat menjadi rapuh, muda menjadi tua, kekanak-kanakan menjadi dewasa, tidak tahu menjadi tahu dan lain sebagainya. Selain itu, bagiku perjalanan itu bersifat personal, karenanya aku sering mengatakan, “Bagimu perjalananmu, bagiku perjalananku. Meski kita di jalan yang sama, perjalanan kita tak kan pernah sama.”
Kenapa aku hampir tak pernah menceritakan tentang perjalanan yang telah aku lalui? Karena aku selalu berpikir bahwa tak ada yang menarik untuk diketahui oleh orang lain, tak ada hal yang benar-benar baru. Untuk menjadi bijak, kita tentu tak harus pergi ke negeri jauh. Untuk mencintai lingkungan, kita tentu tak perlu pergi ke suatu daerah yang jauh lebih peduli atau bahkan telah rusak. Bahkan untuk mendapat kebahagiaan, kita tentu tak perlu mendaki gunung, menyelami lautan atau mencicipi kuliner khas di daerah asalnya, semua ada di sekitar kita. Dan bukankah #BahagiaItuSederhana? 🙂
And The “Big Step” Begins...
Pagi itu, kantor pemerintahan yang aku datangi ini tampak cukup ramai. Aku “terpaksa” harus mendatangi kantor ini karena aku menyerah dengan sistem aplikasi online yang mereka terapkan. Berkas yang dipersyaratkan tak juga berhasil ku unggah, meski sudah berkali-kali kucoba. “The old way still the best way”, pikirku. Setelah mengambil nomor antrian dan menunggu selama kurang lebih 2 jam 50 menit, nomor antrianku dipanggil. Aku pun memasuki sebuah ruangan yang tertulis di pintunya sebagai “Ruang Foto”. Aneh, seingatku proses pertama adalah verifikasi berkas persyaratan baru setelah itu wawancara dan foto. “Kita jalanin dulu aja deh.”
Di dalam ruangan, aku disambut oleh 2 orang perempuan cantik yang tampak serius menatap layar komputer. Setelah mempersilakanku untuk duduk, salah satunya pun menanyaiku, “Bikin baru ya? Mau ke mana dalam waktu dekat ini?” Setelah puas menanyaiku, berkasku ia serahkan ke temannya. Oleh temannya, aku diminta untuk duduk di sebuah ruangan kotak untuk difoto. Setelah selesai, aku diminta membayar biayanya ke bank. 3 hari kerja setelah membayar, aku tinggal datang lagi ke kantor ini untuk mengambilnya. Proses wawancara dan foto ini pun berlangsung cukup singkat, hanya 15-20 menit. Meski singkat, proses pembuatan paspor di Imigrasi Kelas I Khusus, Jakarta Selatan, ini cukup “berkesan” buatku.
Seluruh paragraf di atas, aku tulis kemarin sambil berbaring santai di atas kasur busa di rumahku. Kasur yang sudah 3 minggu ini selalu setia menemaniku dalam suka maupun duka. Sejak menghadiri acara peringatan ulang tahun @exploresolo yang ke empat di pertengahan bulan Mei kemarin, aku hampir tak pernah ke mana-mana, kecuali ke beberapa tempat di dekat rumah untuk menemui beberapa teman. Tempat yang selalu aku sebut rumah, sebenarnya hanyalah sebuah kontrakan “petakan” sederhana di daerah Kebayoran Lama Selatan. Sekedar untuk berteduh, tempat ini cukup nyaman. Selebihnya? Sebagaimana prinsip dalam perjalanan liburan dan perjalanan cinta, maupun perjalanan hidup, "Jangan terlalu banyak berharap."
Hari ini, aku berdiri di tanah yang asing, tanah yang aku rencanakan baru akan ku injak tahun depan. Bagi banyak orang Indonesia, tanah ini sebenarnya adalah tanah yang “biasa”, tanah yang sudah sejak lama mereka “jajah” dan eksplorasi. Tanah yang seringkali mereka banggakan dengan kemajuan, keteraturan, kedisiplinan, kebersihan dan banyak hal positif yang lain. Tanah yang katanya lebih beradab dan “tidak ada di Indonesia”.
Benarkah itu semua? Kita lihat saja nanti, karena tujuan utamaku bukanlah ke tanah ini, tapi tanah tetangga, yang masih 1 rumpun dengan Indonesia. Anyway..... Welcome to Singapore. 🙂
Jakarta - Singapura, 8 - 9 Juni 2014.
Salam.