“People first concern themselves with meeting their basic needs; only afterwards, do they pursue any higher needs.”
― Abdolkarim Soroush.
Setiap ada berita apa pun yang menyangkut gugatan buruh terhadap upah murah atau meminta kenaikan upah, selalu muncul pro dan kontra. Bagian paling menyedihkan dari pro dan kontra ini, bagiku, justru ketika aku melihat “orang terdidik” kontra dan mengejek buruh. Aku tak tahu pasti apa alasan mereka, tapi aku berasumsi mereka merespon tergantung “isi berita” yang mereka baca atau mungkin tingkat pengetahuan mereka yang menganggap bahwa persoalan upah bukanlah urusan bangsa / negara, tapi persoalan personal, tergantung usaha / skill masing-masing orang. Benarkah demikian? Mari kita kaji.
Dalam Pembukaan UUD 1945 jelas termaktub bahwa beberapa tugas / fungsi negara, yang dilaksanakan oleh Pemerintah, adalah untuk “....melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa....” yang kemudian ditegaskan dalam Pasal 27 (2) UUD 1945 yaitu, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Pertanyaannya, seperti apakah pekerjaan dan penghidupan yang layak itu?
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa, “Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.” Di sini jelas bahwa upah yang diterima oleh setiap pekerja, harus dapat menjamin kelangsungan kehidupan (dirinya dan) keluarganya atau minimal mencukupi untuk hidup layak. Seperti apakah hidup yang layak? Minimal adalah terpenuhinya 3 kebutuhan dasar, yaitu pangan, sandang dan papan. Lalu apakah upah pekerja di Indonesia sudah sesuai dengan amanat konstitusi? Tidak.
Kebutuhan hidup seseorang mungkin bisa berbeda-beda, terutama kebutuhan hidup antara seorang lajang dan yang sudah berkeluarga, tapi demi memberikan gambaran utuh dan singkat tentang kebutuhan hidup layak, berikut adalah simulasi kebutuhan hidupku di Jakarta selama sebulan, yang sejauh ini aku anggap adalah kebutuhan hidup minimal dan (cukup) layak.
Dalam sehari manusia umumnya membutuhkan makan 3 kali sehari. Dalam kasusku, biaya sekali makan adalah sebesar Rp7.000,00 dan dengan biaya makan sebesar itu aku mendapatkan sepiring nasi, sayur tahu bersantan yang dipotong dadu, sambal goreng kentang, 2 buah gorengan dan segelas air putih di warteg andalanku. Ini adalah warteg termurah tapi enak, karena warteg lain yang ada di dekatnya bisa mematok bayaran sekitar Rp9.000,00. Dengan demikian, maka untuk makan sebulan, aku membutuhkan uang sebesar Rp7.000,00 x 3 x 30 hari = Rp630.000,00. Apakah makanan tersebut memenuhi standar kebutuhan gizi minimum yang dibutuhkan oleh manusia? Entah, bagiku itu cukup dan mengenyangkan.
Untuk tempat tinggal, saat ini aku mengontrak di daerah Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, dengan biaya sebesar Rp700.000,00 per bulan. Meski bukan berupa sebuah rumah, tempatnya cukup luas untuk menampungku dan kakakku sekeluarga, dengan kamar mandi luar. Beruntungnya listrik dan air sudah tidak perlu bayar lagi. Meski terbilang tempatnya agak kumuh, tapi aku tetap bersyukur dan bertahan, selama belum dapat tempat lain yang lebih layak dengan harga sewa yang relatif sama. Namun demikian, sebagus apa pun itu, rumah kontrakan / kost bukanlah “papan” yang ideal, karena yang ideal adalah rumah yang dimiliki sendiri.
Untuk urusan sandang, kebetulan aku adalah tipe yang jarang mandi (ketika tidak ada urusan keluar rumah / ketemu orang) sehingga jarang ganti baju. Jika aku punya 14 baju layak pakai, maka baju tersebut bisa aku gunakan selama 1 bulan penuh. Namun untuk asas keadilan dan “hidup normal”, anggap saja anggaranku untuk membeli baju setiap bulannya adalah Rp300.000,00. Tidak terlalu tinggi / berlebihan kan?
Bagaimana dengan biaya transportasi? Kebetulan aku freelance dan hanya perlu ke kantor sebulan sekali. Tapi sekali lagi, demi asas keadilan dan “hidup normal” tadi, maka anggap saja aku harus ke kantor setiap hari, di hari kerja, dengan kendaraan umum, anggap saja aku naik bus TransJakarta setiap harinya. Dengan begitu, maka kebutuhanku untuk transportasi adalah sebesar Rp3.500,00 x 2 x 25 hari kerja = Rp175.000,00. Kebutuhan domestik rumah tangga seperti sabun, shampoo, deterjen, pasta gigi, air minum, gelas, piring dan lain-lain bagaimana? Kita anggarkan saja Rp200.000,00 per bulan. Cukup kan?
Jika ditotal, kebutuhan minimal untuk hidupku dalam sebulan adalah Rp2.005.000,00. Sebenarnya lebih, karena ada biaya kopi, gula, rokok dan lain-lain yang tidak aku masukkan, tapi kita eliminasi saja itu demi kesetaraan kebutuhan minimum untuk hidup layak. Sudah, itu saja? Tentu tidak. Sebagaiamana yang aku sebutkan sebelumnya, “papan” yang ideal adalah rumah yang kita miliki sendiri, bukan rumah kontrakan / kost. Undang-Undang tentang Perumahan Rakyat menyebutkan bahwa perumahan rakyat adalah perumahan yang memiliki luas minimal 36 m2. Jika berkeluarga, minimal rumah tersebut mempunyai 2 kamar tidur dengan 1 kamar mandi (Tipe 27 / Tipe 36). Berapa harga rumah tipe itu? Kebetulan aku sedang malas riset, jadi anggap saja aku harus menabung setidaknya Rp1.500.000,00 / bulan selama 10 tahun untuk uang muka rumah. Cukup kan ya? Anggap saja demikian. Jadi, kebutuhan minimalku per bulan untuk dapat hidup layak adalah sebesar Rp3.505.000,00 (tiga juta lima ratus lima ribu rupiah).
Lalu berapakah Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2014? Kalau tidak salah sekitar Rp2.600.000,00. Cukupkah untuk memenuhi kebutuhan hidup layakku? Jika aku bekerja di perusahaan yang membayarku sesuai UMP (seperti buruh yang demo menuntut kenaikan upah itu), sudah pasti tidak cukup. Padahal jelas bahwa negara mesti menjamin agar rakyatnya mendapatkan penghidupan yang layak. Lalu di manakah peran negara dalam hal ini? Tidak ada, jika negara –melalui pemerintah dan pemerintah daerah– tidak segera menaikkan batas UMP tersebut hingga memenuhi standar kebutuhan hidup layak (KHL). Terlebih lagi, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur soal komponen KHL ini dengan detail.
Lho, kalau UMP segitu, bagaimana dengan pengusaha, apa mereka sanggup membayarnya? Begini, kita tentu tahu bahwa pengusaha, besar atau pun kecil, adalah seseorang yang memiliki kekayaan lebih dibanding pekerja berupah UMP, kan? Jika memang tidak sanggup membayar pekerjanya sesuai UMP, mengapa berani dirikan usaha dan mempekerjakan orang? Kalau tidak ada pengusaha yang mendirikan usaha, maka tidak ada lapangan kerja. Nanti banyak pengagguran dong? Benar, tapi menyediakan pekerjaan yang layak adalah tugas negara kan? Benar bahwa pengusaha membantu pemerintah dalam melaksanakan tugasnya, tapi tentu tidak lantas berarti karena sudah dibantu maka pemerintah harus membantu pengusaha dengan tidak menetapkan UMP yang tinggi. Kalau begitu pola pikirnya, maka baik pemerintah dan pengusaha mengorbankan pekerja, padahal upah layak adalah Hak Asasi Manusia. Pemerintah bisa membantu pengusaha dengan cara lain, misalnya insentif pajak, subsidi BBM untuk produksi atau pinjaman modal berbunga rendah. Pun aku yakin feedback semacam ini sudah sejak lama diberikan.
Tapi saya PNS Golongan 1A, gaji pokoknya cuma Rp1.402.400,00, lebih rendah dari buruh-buruh itu, lho. Benar, pertanyaannya, kalian menuntut kenaikan gaji ga? Gaji pokok memang Rp1,4 juta, tapi Take Home Pay (THP)-nya berapa? Jika kalian adalah PNS baru dan lajang, setidaknya kalian mendapatkan Tunjangan Umum, Tunjangan Beras dan Tunjangan Pajak. Jika sudah berkeluarga, ada tambahan Tunjangan Suami / Istri dan Tunjangan Anak. Belum ditambah, jika ada, dengan Tunjangan Kinerja, Uang Makan, Uang Lembur, Perjalanan Dinas, Honorarium kegiatan, dan lain-lain. Dari total THP PNS yang kalian terima akan dipotong dengan Iuran Wajib Pegawai dan Pajak Penghasilan, kan? Let’s say THP kalian kurang lebih Rp2.000.000,00 per bulan (tanpa perjalanan dinas dan honorarium kegiatan).
Tetap saja masih lebih rendah dari buruh kan? Ya, tapi, bagaimana dengan asuransi kesehatan seumur hidup di BPJS Kesehatan dan Tunjangan Pensiun di PT Taspen (Persero) yang manfaatnya juga bisa dinikmati oleh suami / istri dan anak-anak kalian, ga dihitung juga? Saat ini, buruh hanya mendapatkan asuransi kesehatan selama ia bekerja dan tidak ada tunjangan pensiun. Saat sudah pensiun, buruh masih harus bekerja lagi untuk melanjutkan hidupnya sementara kalian terima pensiun, meski aku tahu jumlahnya tidak memadai. But hey, uang pensiun PNS dan pejabat negara itu dari pajak lho dan buruh ikut bayar pajak. Kalian adalah penikmat terbesar pajak, bukan buruh.
Jadi, jangan karena judul berita yang mengatakan bahwa UMP tidak cukup untuk liburan dan lain-lain, lalu fokus kalian pada judul atau “isi” berita tersebut. Cobalah gali lebih dalam kenapa buruh meminta kenaikan upah atau setidaknya pahami contoh yang sudah aku berikan di atas. Jika untuk sesuatu yang kalian tahu kebenarannya tapi dimuat di berita dengan angle yang salah / memberatkan, kalian bisa protes, lalu kenapa untuk hal ini malah tidak? Karena tidak tahu kebenarannya? Cari tahu dong, kaum terdidik kan? 😉
“We have a responsibility as a state to protect our most vulnerable citizens: our children, seniors, people with disabilities. That is our moral obligation. But there is an economic justification too - we all pay when the basic needs of our citizens are unmet.”
― John Lynch.