“You can't make decisions based on fear and the possibility of what might happen.”
― Michelle Obama.
Setelah kemarin saya post artikel berjudul “Biaya Piknik”, muncul beberapa tanggapan dari pembaca, mulai dari yang positif, negatif, sampai yang tampaknya gagal paham. Wajar, karena tema tersebut terbilang “baru” dan cukup “berat” bagi kebanyakan orang. Pun, dengan banyaknya data statistik dan observasi yang saya lakukan selama beberapa tahun terakhir, saya merasa tulisan tersebut lebih tepat jika dimuat dalam jurnal ilmiah ketimbang di dalam blog ini. Sebelum membaca tulisan ini lebih lanjut, sangat saya sarankan untuk membaca tulisan sebelum ini melalui tautan di atas. Jika sudah, mari kita mulai.
Isu dampak pariwisata terhadap lingkungan dan perekonomian terbilang mudah dipahami dan sudah cukup banyak yang mengangkat, memahami, dan kemudian menerapkannya. Namun sayangnya, tidak demikian dengan isu dampak sosial yang ditimbulkan oleh pariwisata. Semalam (16/11), seorang teman memberikan tanggapan terkait salah satu dampak sosial pariwisata, yaitu terkait eksistensi suku pedalaman / suku eksklusif. Dia memberikan contoh sebuah acara yang ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi swasta pada tanggal 15 November kemarin. Dalam acara tersebut, pembawa acara mengajarkan sebuah suku di pedalaman Kalimantan tentang cara menggunakan sikat dan pasta gigi + shampoo.
Menurutnya, tidak ada yang salah dengan perilaku pembawa acaranya yang mengajarkan hal tersebut, meski ia sangat menyayangkan tindakan pencemaran air karena mereka menyikat giginya di area (atas) air dan bukan di pinggirnya. Saya setuju, sebatas bahwa tindakan tersebut membuat air menjadi tercemar, tetapi tidak dengan pengajaran menyikat gigi dan memakai shampoo. Bagaimana dengan kalian?
Jika kalian juga tidak merasa keberatan dengan tindakan pembawa acara, yang mengajarkan menyikat gigi dan memakai shampoo, saya punya pertanyaan, “Untuk apa mereka diajarkan hal itu? Apakah selama ini mereka memiliki masalah kesehatan gigi, gusi, dan kulit kepala?” Dari apa yang dilihat oleh temanku melalui layar kaca, ia merasa suku tersebut tidak memiliki masalah kesehatan gigi, gusi, ataupun rambut; mereka tampak sehat-sehat saja dan tidak mengeluhkan adanya rasa sakit / keanehan pada bagian tubuh tersebut. Lalu untuk apa mereka diajarkan hal tersebut? Temanku berpendapat, “Mungkin biar hidup mereka bersih aja menurut acara itu.” Ini poin utama yang coba aku sampaikan sejak dari artikel yang berjudul “Dear Traveler...” sampai dengan yang terakhir kemarin.
“Don't entrust your future on others' hands. Rather make decisions by yourself with the help of God's guidance. Hold your beliefs so tight and never let go of them!”
― Hark Herald Sarmiento.
Sila lihat kata yang saya cetak tebal di atas. Seringkali, kita, sebagai manusia modern yang merasa lebih terpelajar dan lebih berbudaya dibanding suku pedalaman, akan mengajarkan bahkan menuntut mereka untuk melakukan suatu tindakan / kebiasaan berdasarkan sudut pandang pribadi kita. Mengapa demikian? Karena di dalam hidup yang biasa kita jalani saat ini, tindakan tersebut, misal menyikat gigi dan memakai shampoo, adalah tindakan yang dianggap baik dan benar, terutama demi kesehatan.
Masalahnya adalah, apakah lingkungan tempat kita terbiasa hidup sama dengan lingkungan tempat mereka hidup? Apakah makanan yang biasa kita makan sama dengan yang mereka makan? Apakah pola hidup yang kita jalani saat ini sama dengan pola hidup mereka? Tentu saja tidak. Meski hidup di bumi yang sama, kehidupan yang kita jalani jauh berbeda dengan yang mereka jalani. Mereka tidak mengenal makanan instan, tidak ada polusi kendaraan bermotor / pabrik, mereka tidak makan fast food yang sebenarnya adalah junk food, mereka hidup dari alam sementara kita dari uang (not literally), dan lain sebagainya.
Coba kita balik kondisinya. Bagaimana bila mereka yang mendatangi kita ke kota lalu mengajarkan cara hidup mereka di sana, apakah kita akan menerapkannya di sini? Saya tak yakin kita akan menjawab “Ya”. Kenapa? Karena kondisi kita berbeda dengan mereka. Tentu akan sulit bagi kita hanya mengandalkan hidup dari hutan kayu sementara yang ada di kota kebanyakan hanya hutan beton, kan?
Jika kehidupan mereka berbeda dengan kita, lalu kenapa kita harus mengajarkan standar hidup yang sama? Hanya karena kita merasa lebih modern, terpelajar, dan berbudaya kah? Jika ya, itu justru adalah pandangan yang sangat picik dan tidak menggambarkan tingginya pengetahuan kita sebagai manusia yang merasa lebih terpelajar dan berbudaya. Hal yang sama juga berlaku bagi suku Eskimo, suku Amazon, penduduk Waerebo, suku Dani / Asmat, bahkan Suku Baduy (Dalam).
Saya yakin bahwa hampir semua suku di pedalaman yang hidup dari alam paham dengan konsekuensi cara hidup mereka yang apabila mereka ingin terus survive, maka mereka harus menjaga keberlangsungan alam yang menjadi tempat tinggalnya. Saya yakin mereka tidak harus diajarkan bagaimana cara menjaga alam dengan segala teori ilmiah dan peralatan modern. Apa yang mereka ambil dari alam, akan mereka gantikan dengan yang baru. Tebang satu, tanam satu.
“Ignorance is preferable to error, and he is less remote from the truth who believes nothing than he who believes what is wrong.”
― Thomas Jefferson.
Tidak, saya bukan tidak setuju dengan acara televisi yang “mengeksploitasi” keunikan (baca: eksotisme) suku di pedalaman. Saya juga bukan tidak setuju jika kalian mengunjungi mereka. Saya hanya tidak setuju dengan perilaku mengajarkan dan memaksa mereka untuk jadi modern, padahal mereka tidak butuh itu. Saya hanya tidak setuju jika kita yang mengunjungi mereka lalu bertindak dan berpikir bahwa kita lebih superior dan beradab.
Saya hanya tidak setuju jika kita pergi ke sana lalu bercerita tentang modernisasi. Kenapa? Karena bisa saja itu membuat mereka ingin seperti kita lalu meninggalkan kehidupan yang sedang mereka jalani, yang boleh jadi malah kehidupan mereka sebenarnya lebih baik (bagi mereka). Terlebih lagi, kru televisi dan kita, paling lama hanya beberapa minggu di sana. Jika akhirnya mereka jadi “ketergantungan” dengan modernisasi yang kita bawa sementara tidak tersedia di sana setelah kita pergi, siapa yang mau tanggung jawab? Kru televisi? Kita?
Saya ingin mengajak siapa pun yang membaca ini untuk mengganti pola pikir justifikasi model itu. Pola pikir bahwa apa yang kita jalani / nikmati saat ini juga layak, bahkan harus, dijalani dan dinikmati oleh orang lain, terutama suku pedalaman. Mereka berhak menentukan arah hidup dan masa depan mereka sendiri, sebagaimana kita juga berhak menentukan arah hidup dan masa depan kita sendiri. Pola pikir kita lah yang pada akhirnya dapat menentukan berhasil atau tidaknya menciptakan sustainable tourism di Indonesia, dan dunia.
Pola pikir yang sama juga berlaku ketika kita menemukan sebuah “tempat baru” yang memiliki potensi wisata besar tapi belum terolah. Kita tidak bisa dan tidak boleh dengan serta-merta dan serampangan langsung mempublikasikannya dan mengajak orang-orang untuk datang ke sana. Siapa yang berani menjamin bahwa penduduk di sana siap kedatangan turis secara massif? Siapa yang berani menjamin tidak akan terjadi kerusakan akibat massifnya kunjungan turis? Siapa yang harus bertanggung jawab dan memperbaiki kondisi di sana jika kerusakan itu terjadi? Kru televisi? Kita? Seharusnya, tapi nyatanya penduduk setempat lah yang akan menanggungnya, yang sayangnya mereka sering, bahkan hampir selalu, diabaikan dalam proses pengambilan keputusan apakah mereka mau daerahnya dijadikan destinasi wisata atau tidak.
Jika kita saja tak mau masa depan kita ditentukan oleh orang lain, lalu kenapa kita berani menentukan masa depan orang lain, apalagi hanya karena kita merasa lebih modern. Kita bukan Tuhan, kan?