“There are some choices you can only make once. You can't go back to where you made a choice and then take the other one.”
― Mary Hoffman.
Meski sering terlihat (dianggap bermakna) sama, ternyata makna "mengambil keputusan" (taking decision) dan "membuat keputusan" (making decision) itu berbeda. Frasa "membuat keputusan" merujuk pada kondisi, baik itu sebagian atau keseluruhan, proses pengambilan keputusan. Sementara frasa "mengambil keputusan" hanya merujuk pada kondisi saat keputusan tersebut diambil / dibuat dan bukan pada keseluruhan prosesnya.
Frasa "mengambil keputusan" memiliki konotasi formal dengan implikasi bahwa keputusan yang telah diambil / dibuat mempunyai konsekuensi yang serius terhadap pembuatnya. Singkat kata, "membuat keputusan" lebih erat pada proses (sebelumnya) dan "mengambil keputusan" lebih erat pada konsekuensi (setelahnya). Untuk lebih jelasnya sila baca di sini.
Tentu kita semua tahu bahwa setiap pengambilan keputusan memerlukan (proses) pembuatan keputusan. Pembuatan keputusan ini umumnya didasari oleh pengetahuan keilmuan, pengalaman masa lalu, maupun asumsi dampak dari keputusan yang akan kita ambil. Pertanyaan selanjutnya adalah, sudahkah kita maksimalkan tiga hal tersebut sebelum mengambil keputusan?
“Think 100 times before you take a decision, But once that decision is taken, stand by it as one man.”
― Muhammad Ali Jinnah.
Setiap keputusan yang kita ambil, entah itu keputusan mengenai karir, keuangan, ataupun pasangan, akan dinilai oleh orang lain dan aku yakin tak ada yang salah dengan penilaian ini, toh kita tidak pernah benar-benar bisa hidup tanpa orang lain kan? Pertanyaannya kemudian, saat keputusan kita dinilai atau mungkin dipertanyakan oleh orang lain, bagaimana sikap kita?
Dalam konteks pariwisata, saat traveling ke sebuah tempat dan "menemukan" potensi wisata baru, apa pertimbangan utamamu hingga berani mengambil keputusan untuk mempromosikannya? Kesejahteraan penduduk lokal? Agar terkenal dan berjasa karena telah membantu pariwisata Indonesia menjadi maju? Atau?
Dalam konteks dunia pendidikan, saat melihat seorang anak didik yang sangat terampil / berbakat dalam suatu hal, entah itu pelajaran ataupun keahlian tertentu, apa pertimbangan utamamu hingga berani mengambil keputusan untuk mengarahkannya menekuni bakat tersebut? Karena itu memang potensinya atau karena ingin dia menggeluti bidang yang sama dengan yang kita geluti?
"You have to listen to the people who have a negative opinion as well as those who have positive opinion. Just to make sure that you are blending all these opinions in your mind before a decision is made."
― Carlos Ghosn.
Dari berbagai literatur dan diskusi yang pernah aku ikuti, penggiat dunia pendidikan tentu tahu bahwa pendidikan itu semestinya membimbing anak didik dan bukannya menciptakan mereka jadi sesuai kemauan pendidik. Pendidik hanya berkewajiban untuk menggali potensi dan minat anak didik lalu membekalinya untuk menjadi apa yang mereka inginkan. Pendidik yang baik, bagiku, tentu tak akan mengambil keputusan anak didiknya akan / harus menjadi (si)apa.
Pernah aku tuliskan di sini, bahwa sebelum mengambil keputusan untuk mempromosikan sebuah potensi wisata tertentu yang mungkin saja "baru", kita harus melibatkan penduduk lokal terutama karena mereka adalah yang paling pertama terdampak akan hal tersebut. Karena "mengambil keputusan" itu memerlukan proses "membuat keputusan", sudahkah kita mengkaji dari banyak sisi sebelum mengambil keputusan untuk mempromosikannya? Ingat, persoalan pariwisata tak hanya persoalan kesejahteraan sosial dan ekonomi, tapi juga kelestarian alam.
Hanya karena kita merasa "lebih moderm", merasa "lebih beradab", dan merasa lebih banyak pengalaman, tentu tak serta merta menjadikan kita berhak mengambil keputusan terhadap sesuatu yang akan mempengaruhi hajat hidup orang banyak, kan? Aku yakin sepenuhnya bahwa hanya karena project "Sokola Rimba" sukses, tak lantas menjadikan kita punya hak untuk seenaknya masuk dan mengajarkan hal-hal yang sama sekali tak dibutuhkan oleh masyarakat di pedalaman. Kita bukan Tuhan, kan?
"It's a thousand times better to have common sense without education than to have education without common sense."
- Robert Green Ingersoll
— Tony (@TravellersID) April 26, 2015
Sekali lagi, setiap pengambilan keputusan memerlukan (proses) pembuatan keputusan dan pembuatan keputusan ini harus didasari oleh pengetahuan keilmuan, pengalaman masa lalu, maupun asumsi dampak dari keputusan yang akan kita ambil. Setiap keputusan yang diambil akan selalu dipertanyakan dan memiliki konsekuensi yang mengikat.
By the way, apa yang membuatmu mengambil keputusan untuk membaca tulisan ini sampai selesai?