Saat melontarkan pertanyaan “Travelmate yang paling menyebalkan adalah yang..........” di Twitter, banyak orang menimpalinya dengan berbagai macam jawaban sesuai pengalaman masing-masing, terhadap orang lain. Masalahnya adalah, pernahkah kita menanyakan hal tersebut pada diri kita sendiri?
Pertanyaan tentang apa kekurangan orang lain adalah pertanyaan yang paling mudah dijawab, terutama bila kita punya banyak pengalaman tentang itu. Namun tidak denganku. Bukan, bukan karena aku lebih sering melakukan perjalanan sendirian sehingga jarang punya travelmate, tapi karena aku tak pernah berhasil mengingat dengan jelas apa kekurangannya, pun aku lebih yakin bahwa aku lah yang menyebalkan.
Dalam sebuah perjalanan ke Yogyakarta, aku pernah membuat kesal travelmate-ku karena tak bisa memberi keputusan akan menginap di mana. Awalnya kami akan menginap di area sebuah pantai di Gunungkidul selama 2 malam, namun akhirnya aku mengusulkan hanya 1 malam saja dan besoknya menginap di daerah Kaliurang. “Ga apa-apa kan? Aku belum pernah ke sana soalnya”, ujarku waktu itu. Namun apa yang terjadi? Akhirnya kami hanya berputar-putar saja melihat suasana di sana, tanpa menginap, dan malah turun lagi ke bawah ke daerah Malioboro untuk mencari penginapan. Celakanya, itu adalah weekend dan penginapan yang masuk di budget kami pun penuh semuanya. Kami pun akhirnya keliling untuk mencari penginapan dan baru dapat di dekat bandara, itu pun sekitar jam 7 malam setelah keluar-masuk puluhan penginapan. “Dasar labil”, ujarnya.
“You are creating through your choices, even now. Choose wisely.”
― Bryant McGill, Voice of Reason.
Ya, aku memang sering bimbang dalam memilih, apa pun itu. Berbagai macam pertimbangan selalu aku pikirkan baik-baik sebelum memutuskan, entah itu soal harga; lokasi, terutama jika berhubungan dengan akan ke mana aku besok ingin pergi; fasilitas dan lain-lain. “Ribet” adalah kata yang paling cocok untuk menggambarkan diriku sebagai teman dalam perjalanan liburan, atau bahkan mungkin teman dalam perjalanan hidup.
Akan lebih menguntungkan dan menyenangkan bagimu jika kita bertemu langsung di tempat tujuan, ketimbang merencanakan semuanya dari awal. Kita ambil contoh liburan ke Bali. Aku adalah tipe orang yang akan memikirkan kemungkinan terhadap segala sesuatunya. Untuk memutuskan akan ke Bali naik apa pun membutuhkan waktu setidaknya 2 hari, itu pun setelah melalui riset yang panjang. Bagi orang yang tinggal di Jakarta, kemungkinan besar ia cukup mencari kapan penerbangan termurah dari Jakarta ke Bali sesuai range tanggal / waktu yang ia punya. Tapi tidak denganku. Aku akan menggunakan Skyscanner untuk membandingkan beberapa jadwal dan rute penerbangan ke Bali dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Jika flight di tanggal yang aku mau dari salah satu diantara ketiga kota tersebut lebih murah minimal Rp200.000,00, maka aku akan terbang dari sana. Lalu bagaimana dengan biaya transportasi untuk menuju ke kota itu? Kereta dan bus adalah pilihanku. Pun sebagai freelancer, yang tidak mewajibkanku untuk “ngantor”, aku tak terkendala soal weekdays atau weekend.
Dalam banyak perjalanan yang lain, tak sedikit travelmate-ku yang kecewa, terutama jika aku ditanya “Besok kita ke mana?” Bukannya menjawab dengan pernyataan, aku malah akan bertanya “Kamu maunya ke mana?” Sejak setahun terakhir, aku bukanlah tipe orang yang merasa “wajib” harus ke tempat A, B, atau C selama di kota Z. Aku sudah tak lagi menjadi seorang pejalan yang berprinsip “Mumpung ke sini kita harus kelilingi semua objeknya.” Bagiku, jika belum “puas” keliling di suatu daerah, extend atau kembali lagi lah di lain waktu. Pun aku yakin kita tak akan masuk neraka hanya karena tidak mengelilingi semua objek wisata yang ada di suatu daerah, kan?
Sejak setahun belakangan ini, pertanyaan “Pulang kapan? Di sana mau ke mana aja? Menginap di mana?” adalah jenis pertanyaan yang sulit kujawab, bahkan Ibuku pun sudah pasrah dan hanya berkata “Kalau udah tahu mau pulang kapan, SMS ya.” Saat traveling, satu-satunya itinerary yang aku punya adalah tiket berangkat, selebihnya akan tergantung kondisi dan mood-ku. Soal akomodasi pun aku sama ribetnya. Aku tak keberatan untuk menginap di area yang jauh dari Pantai Kuta / Legian misalnya, jika aku bisa mendapatkan penginapan dengan fasilitas yang sama dengan perbedaan harga Rp100.000,00, toh di Bali pun akan sewa motor untuk berkeliling. Tak hanya sampai di situ, jika objek yang ingin aku kunjungi masih dalam radius 5-10 KM, aku tak akan sungkan untuk berjalan kaki ke sana sambil melihat kehidupan masyarakat lokal di sepanjang jalan, seperti yang aku lakukan di Singapore dan Ubud beberapa bulan yang lalu. Tak peduli cuacanya sepanas apa pun. “Toh kulitku sudah hitam”, pikirku.
“Everywhere is walking distance if you have the time.”
― Steven Wright.
Latar belakang pekerjaanku terdahulu sebagai seorang peneliti mungkin salah satu “penyebab keribetanku”. Aku terbiasa meneliti segala sesuatu, meski hal yang remeh sekali pun. Aku terbiasa untuk memikirkan segala kemungkinan / konsekuensi yang akan terjadi / timbul atas pilihan yang akan aku buat. Namun seringkali inilah pangkal permasalahannya. Bukannya membuat pilihan yang akan diambil menjadi lebih baik, terlalu banyak berpikir tentang segala kemungkinan malah justru membuatku bimbang untuk memilih. Mungkinkah aku butuh seorang travelmate yang berani mengambil keputusan dari berbagai pertimbangan yang telah aku teliti?
Meski aku selalu melakukan penelitian tentang how I’ll get there, aku justru jarang melakukan penelitian tentang apa yang akan aku lihat, lakukan, atau kunjungi di suatu daerah. Soal ini, “Sunset / sunrise di xxx” adalah salah dua keyword yang aku ketikkan di mesin pencari sebelum bepergian ke suatu daerah. Jika aku harus “mewajibkan” sesuatu untuk dilihat di suatu daerah, hanya hunting sunrise / sunset lah yang bisa aku utarakan, meski aku yakin itu bukanlah kewajiban karena tak semua orang juga harus suka untuk melihatnya. Setiap orang punya kemerdekaan untuk memilih apa yang disukainya, sama merdekanya untuk memilih hal yang tidak disukainya.
“Keribetanku” ini bukan hanya saat melakukan perjalanan liburan, tapi dalam hal apa pun. Untuk memilih transportasi menuju ke tempat meeting atau hangout saja aku punya banyak pertimbangan,, yang biasanya tergantung waktu pertemuan dan uang yang aku miliki saat itu. Hampir tak ada kebiasaan yang pasti aku akan naik apa untuk menuju ke Pancoran, Blok M, atau Grogol misalnya. Bahkan tak jarang saat sudah memutuskan akan naik bus TransJakarta, aku mendadak malah naik taksi. Absurd.
“There is no greater agony than bearing an untold story inside you.”
― Maya Angelou.
Selain yang sudah aku sebutkan di atas, masih banyak hal lain yang tak kalah menyebalkan dariku sebagai seorang travelmate, yang mungkin tak ingin kamu alami langsung. Sadar akan banyak kekuranganku sebagai travelmate, aku pun sering ragu jika ingin mengajak seseorang untuk traveling, terutama jika orang itu mengandalkanku tentang itinerary akan ke mana. Aku yakin aku bukanlah travelmate yang menyenangkan bagi siapa pun. Jika ada orang yang berpikiran bahwa banyak kelebihan dariku, ia tentu harus mengetahui kekuranganku. Karena itulah, tulisan tentang “Writer’s Block” dan tulisan ini aku buat, agar siapa pun mengetahui apa kekuranganku sebelum ia memutuskan untuk melakukan perjalanan denganku, entah itu perjalanan liburan atau pun perjalanan hidup.
Aku tahu bahwa tak banyak orang yang (mungkin) berani untuk menuliskan apa saja kekurangannya sebagai seorang manusia. Namun tidak denganku, aku selalu percaya bahwa dengan mengetahui setiap kelemahan kita dan mengungkapkannya, kita akan lebih mudah untuk berdamai dengannya. Beranikah kamu untuk menuliskannya juga di blog-mu?
Anaïs Nin pernah berkata bahwa, “Each friend represents a world in us, a world possibly not born until they arrive, and it is only by this meeting that a new world is born.” Terlepas dari dunia seperti apa yang tercipta ketika dan pasca melakukan perjalanan denganku, aku meminta maaf kepada kalian yang pernah menjadi travelmate-ku dan kecewa.
Setelah bertanya pada diriku sendiri tentang apa kekuranganku sebagai travelmate dan menjawabnya di sini, aku jadi tergelitik untuk bertanya, “Masihkah kamu mau untuk menjadi teman perjalananku?”
“A friend is someone who knows all about you and still loves you.”
― Elbert Hubbard.