Apa Yang Film Ajarkan Padaku?

“The difference between school and life? In school, you're taught a lesson and then given a test. In life, you're given a test that teaches you a lesson.”

― Tom Bodett.

Aku bukanlah orang yang hobi membaca, jika ditanyakan kenapa, kalian akan mendapatkan berjuta alasan, dari yang benar-benar alasan sampai yang sekedar “alasan”. Sewaktu kuliah, minat membacaku lumayan bertambah, meski bukan buku perkuliahan, tapi justru buku tentang logika, filsafat dan perubahan sosial. Cukup aneh sebenarnya, waktu SMA aku masuk jurusan IPA, meski karya (tulis) ilmiahku justru selalu di bidang sosial. Bidang eksak yang (mungkin) aku kuasai justru selalu aku gunakan untuk meneliti atau memahami kondisi sosial. Simbiosis melankolisme.

Seniorku di kampus, dulu, selalu mengajak juniornya untuk membaca, bebas baca apa saja meskipun itu hanya komik. Mereka ingin agar minat membaca aku dan teman-teman menjadi tinggi, setelah minat baca tinggi mereka kemudian akan membuat kajian tentang buku tertentu untuk lebih memahami isinya dan menyerap pelajaran yang ada di dalamnya. Sampai di suatu ketika aku bertanya pada salah satu seniorku karena jarang sekali melihatnya baca buku. Ia menjawab, “Udah jarang benget Ton, sekarang malah lebih suka nonton film dan belajar dari sana.” Awalnya aku kecewa mendengar jawabannya, karena ialah yang paling sering memotivasi kami agar membaca buku. Menyadari kekecewaanku, ia pun mengajakku untuk membuat kajian film.

//platform.twitter.com/widgets.js

Aku yakin sepenuhnya, bahwa untuk belajar dan memahami sesuatu, kita tidak perlu pintar, kita hanya perlu lebih peka saja. Aku pun percaya bahwa sepintar apa pun seseorang, kemanusiannya akan hilang bila ia tidak peka. Dari banyak film yang sudah kutonton, hanya beberapa saja yang memberikan kesan yang mendalam. Posisi film, bagiku, sama seperti buku. Jika ia tidak mengajarkanku sesuatu yang baru, terutama tentang hidup dan kehidupan, maka ia tidak cukup mengesankan, apa pun genrenya. Sama halnya tulisan, bagiku, jika ia tidak mengajarkan sesuatu tentang hidup, maka ia tak cukup mengesankan. Ya, bagiku.

Masih ingat film “Jomblo” yang dibintangi oleh Ringgo Agus Rahman, Christian Sugiono dll? Ada banyak pelajaran hidup yang aku dapatkan dari film ini, terutama soal perselingkuhan dan pilihan. Dari cinta Olip kepada Asri, aku belajar bahwa secinta apa pun kita pada seseorang itu akan “percuma” kalau orang itu tak pernah tahu. Dari perkataan Doni kepada Agus, ketika Agus selingkuh, aku belajar bahwa lebih baik kita melakukan sesuatu yang salah asalkan kita tahu itu salah, daripada kita tak pernah tahu mana yang benar dan mana yang salah. Dan dari tragedi putusnya Agus dengan Lani, aku jadi belajar bahwa kita ga bisa terus selalu mencari yang terbaik. Kita hanya butuh yang baik dan saling berkomitmen.

“Cinta bisa datang. Cinta bisa memilih. Cinta juga bisa pergi. Tapi ada satu yang cinta ngga bisa lakukan, cinta ga bisa menunggu.”

– Jomblo The Movie.

Dari film “Ratatouille”, aku belajar bahwa setiap orang punya peranan masing-masing, sekecil apa pun itu. Kita, aku maksudnya, seringkali meremehkan orang lain hanya karena ia terlihat tidak memiliki kapabilitas terkait sesuatu hal. Kita sering berasumsi bahwa tikus seperti Remy dan manusia-yang-terlihat-tak-berguna seperti Linguini tak dapat berkontribusi apa pun, useless. Padahal, setiap orang, bahkan hewan dan tumbuhan, memiliki fungsi dan peranannya masing-masing. Meski peranan itu kecil, ia tetap penting dalam kacamata sebuah sistem.

Namun bagian yang paling aku suka dari film ini justru di bagian akhir, yaitu ketika restoran yang berusaha dibangkitkan kembali akhirnya malah ditutup dengan alasan kebersihan (akibat petugas menemukan banyak tikus; Remi dan temannya). Banyak orang, seringkali menilai kesuksesan seseorang dari berhasil atau tidaknya ia dalam mewujudkan mimpinya. Jika demikian ukurannya, maka kita bisa mengatakan bahwa mimpi Remy -yang ingin menghidupkan kembali restoran milik Auguste Gusteau- dan mimpi Linguini –yang ingin jadi orang yang berguna- gagal total. Padahal, akhirnya Remy dan Linguini malah mendirikan sebuah restoran baru yang tak kalah ramai dengan yang mereka impikan. Atau coba lihat bagaimana Anton Ego, sang kritikus masakan, menanggalkan egonya untuk mengesampingkan penilaian masyarakat bahwa restoran itu tidak bersih (karena banyak tikus) dan memberikan penilaian yang jujur bahwa masakan Remy memang enak.

"Not everyone can become a great artist, but a great artist can come from anywhere."

– Anton Ego, Ratatouille.

Menjelang Idul Fitri tahun ini, aku menonton sebuah film yang berjudul “The Fault In Our Stars”. Film drama cinta dan keluarga adalah genre film favoritku karena aku yakin film jenis ini lebih menjanjikan banyak pelajaran hidup ketimbang laga atau efek yang memukau. Dari film ini aku belajar bahwa “Pain demands to be felt”. Rasa sakit, juga perasaan lainnya, bukanlah untuk disembunyikan dan ditolak keberadaannya. Kita tak perlu menjadi sok tegar dan menolak untuk “menikmati” rasa sakit itu. Grup band Dewa bersenandung, “Menangislah bila harus menangis, karena kita semua manusia.” Dari film ini juga aku belajar bahwa “Some infinities are bigger than other infinities.” Tak ada ukuran pasti, dalam dunia manusia, bahwa satu hal akan melebihi hal lain, karena besar-kecil, tinggi-rendah, hanyalah sebuah konsep yang tidak akan bisa kita dapatkan jika tidak membandingkan sesuatu hal. Benar bahwa dengan membandingkan kita akan mendapatkan pengetahuan baru, tapi hidup bukanlah untuk membandingkan, kan?

Film “The Fault In Our Stars” mengajarkanku suatu hal penting, yaitu bahwa untuk disukai oleh semua orang itu adalah hal yang mustahil. Kita tentu tidak bisa membuat semua orang untuk menyukai kita. Kita yang aku maksud adalah kita dengan segala yang ada di diri kita, baik maupun buruknya. Seorang Augustus Waters yang awalnya sangat ingin menjadi seseorang yang diingat (dan dicintai) oleh semua orang pun akhirnya menyadari bahwa keinginannya itu terlalu muluk, jika tidak ingin dibilang salah. Tidak penting untuk dicintai oleh semua orang, karena yang terpenting adalah cukup satu orang yang mencintai kita dengan segala yang ada di diri kita, not widely but deeply. Dan aku, sebagaimana Augustus Waters dan Hazel Grace, pun yakin, bukankah itu sudah lebih dari cukup?

"See, the thing is... we all wanna be remembered. But Hazel's different. Hazel knows the truth. She didn't want a million admirers, she just wanted one. And she got it. Maybe she wasn't loved widely, but she was loved deeply. And isn't that more than most of us get?"

– Augustus Waters, The Fault In Our Stars.

Film terakhir yang aku tonton di bioskop adalah film “Lucy”. Aku tertarik ingin menonton film ini setelah melihat trailer-nya saat aku menonton “The Fault In Our Stars”. Jiwa eksakku kali ini dibangkitkan oleh rasa penasaran tentang bagaimana caranya bisa mengakses 100% dari kapasitas otak kita. Ya film ini mungkin fiksi, tapi aku yakin ini adalah science-fiction. Namun demikian, adegan di film ini yang paling berkesan bagiku bukanlah pada sisi ilmiahnya, tapi justru pada sisi kemanusiaan yang ditonjolkan oleh film ini secara eksplisit, yang tampaknya gagal dipahami oleh sebagian besar pengulas film. Pengetahuan, memang bisa mengantarkan pada banyak hal, termasuk kejahatan. Nuklir contohnya, di tangan orang yang berbeda ia bisa jadi sebuah obat atau malah bencana. Saat banyak orang “menuduh” pengetahuan sebagai biang kerok semua kekacauan di muka bumi ini, Lucy justru menyadarkanku bahwa, “Ignorance brings chaos, not knowledge.”

“Lucy” mengajarkanku bahwa pada akhirnya hakikat pengetahuan adalah seperti sel, untuk diturunkan ke generasi berikutnya. Sebanyak apa pun pengetahuan yang kita miliki, akan terasa “percuma” ketika kita tidak mewariskannya ke generasi berikutnya. Saat seluruh pengetahuan hadir di benak Lucy, ia merasa sisi kemanusiaannya hilang. Film ini mengajarkanku bahwa manusia akan selalu mencari tahu tentang banyak hal yang penting bagi dirinya, seremeh apa pun itu. Sebagaimana aku yang selalu berusaha mencari tahu tentangmu.

Di adegan ketika Lucy menikam tangan bos mafia sambil menginterogasinya, ia berkata Like this pain you're experiencing. It's blocking you from understanding. All you know now is pain. That's all you know, pain.” Dialog ini menyadarkanku bahwa ketika kita sedang sakit (tubuh ataupun hati), kita jadi sulit memahami sesuatu hal, memahami pelajaran / hikmah dibaliknya. Yang kita tahu adalah kita sedang sakit, that’s all. Benar bahwa “pains demands to be felt” tapi itu tentu tidak berarti bahwa kita hanya terfokus dan hanya “menikmati” rasa sakit itu. Kemampuan untuk tetap mencari tahu makna dibaliknya, meskipun kita sedang merasakan sakit, itulah yang harus kita miliki.

"The purpose of our existence is to pass along the knowledge we accumulate to the next generation."

– Lucy The Movie.

Itulah yang film ajarkan padaku, kamu?

Share

Leave a Comment


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.


Kartika Paramita Klara

10 years ago

Belajar peka.

Pradikta Dwi Anthony

10 years ago

*toel2* Peka ga? :p

@TravellersID you can buy royalty-free license of stock photo and stock video; search, compare, and book cheap flight ticket, hotels, and car rental around the world; or hire us for social media management, content writing, or video production services.