“Ada apa ya, Pak?” tanyaku ke seorang pedagang asongan yang melintas. “Ada kereta anjlok, Mas”, jawabnya. “Duh, udah hampir jam 4 lagi, keburu ga ya”, gumamku. “Kalau buru-buru naik bus aja. Mas-nya bisa naik bus kecil dari depan stasiun, nanti di terminal ganti bus besar”, ujarnya menyadari kegelisahanku.
Semenjak lulus SMA dan bekerja sebagai buruh pabrik di Tangerang, ini adalah kali kedua aku pulang. Kalau boleh memilih, aku berharap bisa pulang saat Lebaran dan bukan menjelang tahun baru seperti saat ini. Namun apa lacur, statusku sebagai karyawan baru jelas tidak memungkinkan untuk aku bisa pulang kampung saat Lebaran. “Anak baru mah jaga pabrik”, begitulah kata teman-temanku. Setelah berpikir sejenak, aku pun mengambil tas, turun dari kereta, berjalan ke depan stasiun, lalu naik bus kecil menuju ke Purwokerto. Menurut sang kondektur, biasanya perjalanan membutuhkan waktu paling lama 1 jam. “Kalau lancar, aku bisa sampai sebelum jam 8 malam nih. Aman lah”, pikirku.
“Dahulu terasa indah, tak ingin lupakan. Kemesraan selalu jadi satu kenangan manis....”
Sayup ku dengar lantunan syair lagu Ada Band yang dinyanyikan oleh seorang pengamen dari bagian depan bus. Meski aku tak terlalu suka dengan lagu ini, syair di bagian awalnya mampu membawaku mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Dulu, pulang selalu terasa indah karena aku tak pernah sendirian seperti saat ini. Kami, aku dan keluarga besar dari pihak ibuku, selalu pulang bersama-sama dengan 2 (dua) buah mobil milik adik ibuku. Meski sudah menjadi ritual tahunan, ada saja kejadian yang membuatnya jadi berbeda dengan yang sebelumnya. Pernah kami melakukan perjalanan tanpa berhenti barang sebentar dan pernah juga kami selalu berhenti setiap melewati objek wisata yang kami rasa menarik. Perjalanan, apa pun bentuk dan tujuannya, selalu menghadirkan pengalaman yang berbeda.
“Gamping, Gamping, Gamping!” teriak kondektur bus. Aku pun terbangun dari tidurku, bersiap-siap, kemudian menuju ke bangku depan dan berpesan kepada supir bus, “Pak, nanti tolong turunkan saya di Ambarrukmo ya.” Sang supir hanya mengangguk tanpa menjawab. Tak lama kemudian, aku turun dari bus dan langsung melangkahkan kaki menuju ke sebuah penginapan yang ada di gang di sebelah Hotel Ambarrukmo.
Yogyakarta, bukanlah kampung halamanku. Pulangku kali ini adalah untuk menemui kekasihku yang sedang kuliah di sebuah akademi kebidanan yang terletak tak jauh dari tempatku menginap. Ia adalah adik kelasku waktu SMA dan malam ini, 31 Desember 2005, aku sengaja pulang agar kami bisa merayakan malam tahun baru bersama-sama. Karena pulang adalah ke rumah dan rumah (home), is where the heart is.
“Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu...”
Bagi sebagian besar orang, lagu Yogyakarta milik Kla Project tersebut adalah lagu favorit. Salah satu, bahkan mungkin satu-satunya, lagu yang mampu membangkitkan kembali kenangan di kota itu. Tak aku pungkiri bahwa aku pun seringkali terhipnotis oleh lagu tersebut, seolah-olah ada kekuatan magis dalam setiap liriknya. Dulu, pulang ke Yogya adalah untuk melampiaskan rindu. Aku selalu punya alasan untuk ke Yogya, bahkan cenderung mencari-cari alasan. "Kangen Malioboro" adalah alasan terklise yang sering terucap ketika ada yang tanya kenapa aku sering ke Yogya.
Aku tidak kangen Malioboro, aku hanya merindukan momen. Momen di mana segalanya terasa begitu indah, momen canda tawa, momen jalan kaki ke Malioboro, jauh namun terasa dekat karena berdua. Momen yang kami lalui mungkin tidak mewah, tapi penuh ketulusan dan kasih sayang. Sebentar, benarkah aku merindukan momen itu? Ah tidak, tampaknya aku bukanlah merindukan tempat maupun momen, aku justru merindukan sosok. Sosoknya yang pernah mengisi hari-hariku selama bertahun-tahun. Kenangan, seringkali bukan pada tempat, tapi pada momen dan sosok.
Aku sadar, kedatanganku ke Yogya ternyata justru untuk mencari alasan kenapa aku selalu datang ke sana, yang ternyata sudah sejak lama tidak ada. Aku sudah kehabisan alasan untuk ke Yogya.
"Walau kini kau tlah tiada kan kembali, namun kotamu hadirkan senyummu abadi..."
Perjalanan, bukan sekedar soal pergi ke mana, untuk apa, bersama siapa, atau berapa lama. Bagiku, ia adalah tentang mampukah aku mengambil pelajaran dari setiap bagiannya, meski sedikit? Mampukah ia menopang langkahku di perjalanan lain yang lebih sulit? Jika perjalanan adalah tentang perpindahan, mampukah aku memaknainya sebagai perpindahan dari kekanak-kanakan menjadi dewasa?
Jika dulu aku selalu berkata, "Yogyakarta, aku pulang", maka sekarang dengan lantang aku berkata, "Yogyakarta, aku pulang....ke Jakarta." Toh pada akhirnya, yang benar-benar aku miliki hanyalah kenangan.
"Aku pulang...tanpa dendam..."