Ada yang pernah dengar istilah “ketulah”? Aku memahami “ketulah” bukan sebagai “kena bencana” sebagaimana pengertian aslinya dalam Bahasa Sunda, tapi sebagai “kemakan omongan sendiri”. Berulang kali hal ini ku alami dan berulang kali pula ku ulangi. “Ketulah” yang paling sering aku alami adalah soal lagu. Biasanya aku mengatakan “Apa enaknya sih lagu itu? Aneh gitu liriknya”, tapi beberapa bulan kemudian tiba-tiba lagu itu jadi lagu favorit yang sering aku nyanyikan. Bukan hanya soal lagu sebenarnya, ada juga film, orang yang disukai / dibenci, Bali sampai dengan yang saat ini aku alami, soal Kuala Lumpur, Malaysia.
Dulu kalau ada orang yang liburan ke Kuala Lumpur, aku sering mengatakan, “Ngapain ke Kuala Lumpur? Kan cuma kota gitu aja sama kayak Jakarta. Paling cuma beda soal ga macet dan lebih teratur sama lebih bersih aja.” Tapi pandanganku ini berubah ketika aku menginjakkan kaki di sana.
Terminal Bersepadu Selatan
Sekitar pukul 6 pagi waktu Kuala Lumpur, bis yang membawaku dari Terminal Bis Larkin, Johor Bahru tiba di sini. Awalnya sih biasa saja, karena aku diturunkan di halte yang ada di luar terminal. Petunjuk arah yang cukup jelas, tak menyulitkanku untuk mencari arah / cara menuju ke dalam terminal. Meski sepi dan tampak tutup, ternyata terminal itu buka, hanya memang belum ramai. Areanya sangat luas dengan papan petunjuk lokasi yang sangat jelas. Counter tiket terletak di tengah (Lantai 3) dan berjejer dengan banyaknya, “Ini sih kayak counter check in pesawat”, gumamku. Hampir seluruh counter menjual tiket untuk bis dengan jurusan yang sama, mungkin untuk menghindari antrian.
Setelah membeli tiket bis “Jetbus” ke KLIA2, aku pun menuju ke Lantai 4, area food court. Bukan untuk makan sih, tapi untuk cari colokan, Wi-fi gratis dan smoking area. Colokan dan smoking area sudah aku temukan, Wi-fi gratis yang tidak. Meski di layar teleponku menunjukkan adanya jaringan wi-fi gratis (open) milik terminal, namun ternyata jaringan tersebut tak bisa ku akses. Aku pun pasrah dan cukup puas dengan kedua hal yang aku dapat. Hidup itu jadi terasa lebih enak ya kalau mudah puas, ga ngoyo.
KLIA2
Jika dulu Terminal LCCT adalah “rumah bagi AirAsia”, sekarang rumah itu pindah ke KLIA2. Bandara yang baru saja dibuka ini sangat besar dan fasilitasnya pun cukup lengkap. Hanya sayang, akses Wi-fi gratisnya hanya berlaku untuk 1 jam dan kalau mau pakai lagi, kita harus login ulang. Gampang kok, tinggal connect dan buka browser saja (otomatis).
Lantai 1 adalah tempat turun naik penumpang yang menggunakan bis, Lantai 2 adalah terminal kedatangan dan Lantai 3 adalah terminal keberangkatan. Di antara Lantai 2 dan Lantai 3, ada Lantai 2M, yaitu area food court. Sementara smoking area ada di sisi pojok kiri dan pojok kanan bagian luar terminal keberangkatan. Kalau bingung, lihat saja papan petunjuk atau tanya ke petugas perempuan di bagian informasi.
Selain sunrise view dari area smoking area, yang membuatku terkesan dengan KLIA2 bukanlah soal besarnya, tapi soal fasilitasnya jika dibandingkan dengan terminal domestik bandara di Indonesia. Dengan membayar Passenger Service Charge (Airport tax) sebesar RM 6 (domestik), di KLIA2 kita mendapatkan bandara dengan fasilitas yang lengkap, sangat luas dan nyaman, bahkan untuk tidur. Sila bandingkan dengan bandara Soekarno-Hatta dengan airport tax Rp40.000,00 atau bandara Juanda dengan airport tax Rp75.000,00. Selama ini kenaikan airport tax di Indonesia selalu dihubungkan dengan tingginya airport tax di negara lain, biasanya Singapura, padahal Singapura jelas tidak punya terminal / penerbangan domestik. Kenapa tak coba bandingkan dengan airport tax di Malaysia?
Kereta di Malaysia
Dari KL Sentral ke Batu Caves, aku cukup membayar ongkos kereta sebesar RM 2 dan dari KL Sentral ke KLCC, aku cukup membayar RM 1,6. Kondisi kereta, ketepatan waktu dan kemudahan akses kereta di Malaysia membuatku sangat bahagia, selain tentunya tarif yang cukup “murah”. Tak perlu lah aku ceritakan seperti apa keretanya, yang jelas lebih manusiawi ketimbang kereta di Indonesia. Padahal, kereta Malaysia dibuat oleh Indonesia (PT INKA).
Saat mengunjungi Batu Caves, pastikan stamina kita cukup, karena anak tangga yang “harus” kalian naiki cukup banyak, 200 lebih. Kalau merasa tak sanggup, di bawah saja sudah cukup, apalagi yang sekedar ingin foto-foto narsis. Dari Batu Caves, aku kembali ke KL Sentral untuk kemudian naik LRT menuju KLCC untuk melihat “Twin Tower”. Dari KLCC, semestinya tujuanku berikutnya adalah Merdeka Square, namun harus dibatalkan agar bisa lebih menikmati suasana KLCC saat malam, pun karena nanti malam aku harus ke KLIA2 lagi.
And the point is.....
Lalu apakah aku menyukai Kuala Lumpur karena fasilitas umumnya, objek wisatanya atau hal-hal fisik lainnya? Bukan, bukan karena itu, tapi karena perjalanan di Kuala Lumpur lah aku merasa bahagia. Bahagia karena teman seperjalananku. Teman yang sudah cukup lama aku kenal, tapi baru pertama kali bertemu. Ya, seorang teman.
Banyak orang beranggapan bahwa dengan mengunjungi tempat yang indah lah yang bisa membuat kita bahagia, padahal di rumah, sekolah, kampus, kantor, bahkan di pasar pun kita bisa bahagia, asal kita mau merenungkan sedikit saja kebaikan orang-orang yang ada di sekitar kita. Memang benar bahwa kejahatan, sekecil apa pun tetaplah kejahatan, tapi kebaikan sekecil apa pun juga tetap kebaikan. Hidup dengan hanya memikirkan kejahatan apa yang telah orang lain lakukan dan kebaikan apa yang telah kita lakukan ke orang lain, bagiku, tak kan mampu membuat kita benar-benar bahagia.
Bagiku, perjalanan (apa pun bentuknya) adalah seperti yang dikatakan oleh Charles Schulz , "In life, it's not where you go, it's who you travel with."
Sampai jumpa di Penang.
Kuala Lumpur, 10 Juni 2014.
Salam.