Mungkin agak berlebihan, tapi tidak salah kalau aku menyebutnya sebagai sebuah ekspedisi. Kata Iyas, dari camp site kami di Telaga Cebong, kami mesti trekking sekitar 1,5 Km untuk bisa mencapai Curug Sikarim. Aku sebenarnya suka dengan curug tapi melihat kondisiku yang masih kelelahan pasca "nyunrise" di Bukit Sikunir tadi, aku pun ragu untuk ikut, ditambah lagi karena ternyata baik Iyas, Ruri, maupun peserta trip lainnya pun belum ada yang pernah kesana.
Namun akhirnya, melihat mayoritas teman-temanku berangkat, terlebih lagi Ibuku pun ingin ikut kesana, sebagai anak yang berbakti kepada orang tuanya *prettt* aku pun akhirnya memutuskan untuk ikut. Kata-kata bijak "Lebih baik mencoba dan gagal, daripada tidak mencoba sama sekali" pun menambah motivasiku. #tsahhh
Perjalanan aku mulai dengan berjalan santai di sepanjang jalan utama di Desa Sembungan sambil menikmati suasana desa tertinggi di Pulau Jawa ini. Meski jalan utama, tak berarti jalannya lebar. Normalnya jalan ini hanya dapat dilintasi oleh 1 (satu) buah mobil saja, tapi bisa saja dipaksakan untuk dilalui 2 (dua) buah mobil dari arah yang berlawanan asalkan supirnya cukup handal agar tidak terperosok ke dalam parit.
Seperti yang aku bilang sebelumnya, tidak semua bagian jalan di Desa Sembungan adalah jalan tanah, karena ada beberapa bagian yang sudah beraspal, meski sudah banyak lubang di sana-sini. Sejauh yang aku lihat, bagian jalan yang beraspal pun hanya di bagian pusat desa, yaitu dari pertigaan sebelum ke arah Curug Sikarim sampai dengan pos pendakian Gunung Sikunir. Sambil berjalan, aku melewati pos tersebut, sebuah masjid besar dengan arsitektur yang unik, dan beberapa buah homestay. Selain itu ada juga tempat penjualan oleh-oleh khas Desa Sembungan seperti buah Carica, Kopi Purwaceng, dan kentang.
15 menit aku berjalan, mungkin jaraknya sekitar 500 meter, aku pun sampai di pertigaan yang mengarah ke Curug Sikarim. Ada papan penunjuk jalan kecil yang menginformasikan arah ke Curug Sikarim. Di papan tersebut tertulis bahwa jaraknya masih 1,5 Km. Nah inilah yang aku tak suka, sudah berjalan sekitar 500 meter saja tulisannya masih 1,5 Km lagi. Aku yakin jarak real-nya lebih dari yang tertera di papan tersebut. *tepok jidat*
Sekitar 100 meter setelah aku melewati pertigaan tadi, terdengar bunyi klakson dari sebuah kendaraan di belakang. Dari suara mesinnya yang menderu, aku yakin itu adalah sebuah truk. "Mungkin truk sayur", pikirku.
Setelah truk itu melewatiku, aku pun melihat teman-temanku lari dan mengerumuni seseorang. "Ada apa ini, apa ada yang tertabrak?", aku pun curiga. Aku lalu menyusul teman-temanku dengan berlari dan akhirnya aku melihat mereka mengerumuni seorang ibu-ibu yang sedang memegangi pergelangan kakinya yang tampak kesakitan.
"Saya lihat ada truk mau lewat, makanya saya minggir. Saat minggir saya ga ngeliat kalau ada lubang di pinggir jalan. Akhirnya kaki saya masuk ke lubang itu lalu saya terjatuh", kata ibu-ibu itu menceritakan kejadian yang menimpanya. Bukan ceritanya yang aku pedulikan saat itu, tapi sakit yang dideritanya. Karena beliau itu tak lain adalah, Ibuku. 🙁
Dari rombongan trip ni, beberapa diantaranya ada yang kuliah di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, kebetulan dia selalu membawa salep pereda nyeri. Aku pun lalu memintanya dan mengoleskan salep itu ke kaki Ibuku, tampaknya ia terkilir. Karena kejadian ini aku pun mengajak Ibuku untuk kembali saja ke camp site mumpung belum terlalu jauh, namun beliau menolak, "Ga apa-apa kok, cuma keseleo dikit aja. Masih kuat ini buat jalan."
Karena Ibuku memaksa, kami pun melanjutkan perjalanan pelan-pelan, Aku kagum akan semangatnya, meskipun usianya sudah tak muda lagi, ditambah dengan sakit yang ia alami saat ini, ia tetap ingin meneruskan perjalanan. Aku yakin beliau tak ingin mengecewakanku yang sudah mengajaknya berlibur. Kami terus berjalan menyusuri jalan yang di pinggirnya banyak terdapat kebun kentang. Terlihat banyak petani yang sedang memanennya. O, ya! Kata Ibuku, kentang dari Desa Sembungan adlah kentang yang paling enak. Harganya pun lebih mahal dibanding kentang jenis lain.
Sebenarnya aku tak tega melihat Ibuku menahan sakitnya dan terus berjalan. Meskipun aku memapahnya, aku yakin beliau tetap merasa kesakitan. Akhirnya kabut tebal pun mulai turun dan menghalangi panadngan kami. Aku tak khawatirkan kabut ini, karena kami masih dapat melihat dalam radius 10 meter ke depan. Yang aku khawatirkan adalah hujan yang biasanya akan turun setelah kabut, sementara aku perhatikan di sekeliling kami tidak ada tempat untuk berteduh. Aku pun akhirnya memaksa Ibuku untuk kembali karena kabut semakin tebal dan gerimis pun mulai turun, Ibuku pun setuju.
30 menit kemudian kami pun sudah sampai lagi di camp site. Aku membawa Ibuku ke warung agar bisa aku carikan balsem atau obat lain yang dapat meredakan rasa sakitnya. Setelah bertanya kepada bapak pemilik warung yang semalam, ternyata beliau bisa meng-urut. Setelah Ibuku diurut, aku pun mengantarnya ke dalam tenda agar beliau bisa beristirahat lalu aku kembali ke warung itu untuk minum kopi. Dari cerita bapak pemilik warung, kami telah salah memilih jalan kaki kesana. Karena menurut si bapak, untuk menuju ke Curug Sikarim masih bisa dilalui oleh sepeda motor paling tidak sampai tiga per empat perjalanan, baru dilanjutkan lagi dengan jalan kaki. Damn. 😐